Minggu, 13 Maret 2011

Sejarah Tokoh

KARTINI

Kartini lahir 21 April 1879 atau 28 Rabiulakhir 1808 di Desa Mayong, Jepara. Tak jelas siapa yang memberikan nama itu padanya. Tapi Pramudya dalam Panggil Aku Kartini Saja lebih yakin, karena perempuan, ibunyalah yang memberikan nama.

Waktu itu ayah Kartini masih menjabat Asisten Wedana onderdistrik Mayong, Kabupaten Jepara, dan memiliki rumah yang luas. Tapi Kartini justru tidak lahir di rumah yang luas ini. Sebagai anak dari "selir", Kartini lahir di rumah kecil, berada di bagian belakang rumah Asisten Wedana itu.

Sejarah juga tak mencatat masa kecil Kartini. Tapi yang agak bisa dipastikan, dia besar di bawah pengasuhan ibunya, di rumah kecil itu. Kartini sendiri melukiskan masa kecilnya itu dengan nada pedih. Suratnya kepada Ny HG de Booij-Boissevain menunjukkan diskriminasi yang dia dapat ketika bayi. Ibunya harus bersaing dengan istri utama ayahnya, yang memang masih keturunan Ratu Madura. Sejak bayi dia sudah merasakan kehidupan yang beda antara gedung utama dan rumah kecilnya.

Sahabat Kartini Ny van Zeggelen dalam romannya Kartini melukiskan, setelah lahir Kartini diasuh emban, Rami. Sedang ibu Kartini, seperti kebanyakan selir lain, pergi dari rumah itu sesudah melahirkan. Ini dibuktikan dengan asumsi, Kartini tak memiliki saudara sekandung. Padahal, setahun setelah kelahirannya, saudara Kartini ada 6 orang, dari ibu-ibu yang berbeda. Tapi dari surat-surat Kartini kepada Stella, dan status ibu utama yang "cukup membencinya", Pramudya percaya selain Rami, Kartini masih tetap diasuh ibunya.

Kartini kemudian sekolah, tak jelas di usia berapa. Yang dapat dicatat dari masa sekolah ini adalah perasaan Kartini yang marah karena diskriminasi guru-gurunya, lewat surat kepada Estelle Zeehandellar,

"Orang-orang Belanda itu menertawakan dan mengejek kebodohan kami, tapi kami berusaha maju, kemudian mereka mengambil sikap menentang kami. Aduhai! Betapa banyaknya dukacita dahulu semasa kanak-kanak di sekolah; para guru dan banyak di antara kawan mengambil sikap permusuhan kepada kami..."

Menyerah Pada Cinta Ayah

Setamat sekolah, Kartini ingin meneruskan ke Semarang, di HBS. Apalagi, abang-abangnya sudah bersekolah di sana. Tapi ayah Kartini tak memberi izin, dan dia tak kuasa melawan ayahnya. Bahkan, ketika gurunya menawarkan sekolah ke Belanda, Kartini nyaris menangis.

"Jangan tanyakan padaku, aku mau atau tidak, jangan. Tanyakanlah boleh atau tidak."

Rintihnya dalam surat kepada Stella. Akhirnya, di usia 12,5 tahun, dia hidup dalam pingitan.

Tahun 1896, saat Kartini berusia 17 tahun, pingitannya dilepas. Dia bersama adiknya, Kardinah, menikmati sekali kebebasan itu. Dan sejak 1900, saat naiknya Ratu Wihelmina, tradisi pingit tak ada lagi.

Sesudah itu Kartini memang menjadi pemberontak. Bahkan, ketika dia akan membaktikan dirinya bagi perjuangan yang progresif, dan sang ayah menentang, Kartini tak mundur. Sampai ayahnya jatuh sakit, barulah Kartini surut, bukan mundur, tapi menunda niatnya.

Kecintaan Kartini pada ayahnya memang luar biasa. Bahkan demi cintanya itu, Kartini rela menanggungkan apa saja,

"Untuknyalah, aku merasa begini celaka, berbulan-bulan lamanya aku menjadi guyah hati, lemah, yang bahkan pengecut, karena aku tidak mampu, tidak sampai hati untuk melukai hatinya..."

Ada aku rasai cintaku yang tiada terbatas kepadanya, dan aku menjadi bangga, menjadi berbahagia karenanya, bisiknya pada Stella.

Tampaknya, di depan sang ayah, Kartini tak memiliki kekuatan untuk melawan, yang selalu dia katakan "demi cintaku pada ayah". Sehingga saat niatnya ke Belanda ditentang sang ayah, dan dia dikawinkan dengan Bupati Rembang, "menjadi istri yang kesekian" dia juga tak kuasa melawan. Kartini tak tahu, ada permainan Belanda dalam perkawinan itu.

Cuma, ketika menyetujui kawin, Kartini tahu, diskriminasi yang dia benci di masa kecilnya, dan ketidakadilan yang didapat ibunya, kini telah menjadi takdirnya. Dan Kartini tak berbahagia. Tak lama sesudah "perkawinan politik" itu, Kartini pun meninggal dunia...
(www.mesias.8k.com)

Kamis, 10 Maret 2011

GEOGRAFI INDONESIA

Indonesia memiliki sekitar 17.504 pulau (menurut data tahun 2004; lihat pula: jumlah pulau di Indonesia), sekitar 6.000 di antaranya tidak berpenghuni tetap, menyebar sekitar katulistiwa, memberikan cuaca tropis. Pulau terpadat penduduknya adalah pulau Jawa, di mana lebih dari setengah (65%) populasi Indonesia. Indonesia terdiri dari 5 pulau besar, yaitu: Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya dan rangkaian pulau-pulau ini disebut pula sebagai kepulauan Nusantara atau kepulauan Indonesia.[1]
Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi and 130 di antaranya termasuk gunung berapi aktif. Sebagian dari gunung berapi terletak di dasar laut dan tidak terlihat dari permukaan laut. Indonesia merupakan tempat pertemuan 2 rangkaian gunung berapi aktif (Ring of Fire). Terdapat puluhan patahan aktif di wilayah Indonesia.

Keadaan alam

Sebagian ahli membagi Indonesia atas tiga wilayah geografis utama yakni:
Pada zaman es terakhir, sebelum tahun 10.000 SM (Sebelum Masehi), pada bagian barat Indonesia terdapat daratan Sunda yang terhubung ke benua Asia dan memungkinkan fauna dan flora Asia berpindah ke bagian barat Indonesia. Di bagian timur Indonesia, terdapat daratan Sahul yang terhubung ke benua Australia dan memungkinkan fauna dan flora Australia berpindah ke bagian timur Indonesia. Pada bagian tengah terdapat pulau-pulau yang terpisah dari kedua benua tersebut.
Karena hal tersebut maka ahli biogeografi membagi Indonesia atas kehidupan flora dan fauna yakni:
  • Daratan Indonesia Bagian Barat dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Asia.
  • Daratan Indonesia Bagian Tengah (Wallacea) dengan flora dan fauna endemik/hanya terdapat pada daerah tersebut.
  • Daratan Indonesia Bagian Timur dengan flora dan fauna yang sama dengan benua Australia.
Ketiga bagian daratan tersebut dipisahkan oleh garis maya/imajiner yang dikenal sebagai Garis Wallace-Weber, yaitu garis maya yang memisahkan Daratan Indonesia Barat dengan daerah Wallacea (Indonesia Tengah), dan Garis Lyedekker, yaitu garis maya yang memisahkan daerah Wallacea (Indonesia Tengah) dengan daerah IndonesiaTimur.
(wikipedia)